barisan sponsor

Selasa, 19 Januari 2010

bahagia dalam balut pilu

leh : Enno Dian Gusdiani


Siang yang cukup panas, membuat badan ini lelah dan meminta haknya untuk istirahat. Ku tahu tak ada ruang untuk lengah, atau pun jeda. Putaran waktu yang tak kan mampu ku henti, hingga bulir pasir dalam jam pasir terus berjatuhan dalam irama denting.

Pun dengan siang itu, aku tetap memaksakan melakukan aktivitas penelitianku. Hingga obrolan seorang dokter dan keluarga pasien memecah konsentrasiku. Laki-laki kurus itu, ku ketahui dari obrolan mereka adalah seorang Ayah dari bayi yang baru lahir beberapa hari yang lalu yang saat ini sedang dalam perawatan intensif di ruang perinatal.
Sekilas, orang dapat menilainya dengan tepat. Kaos polos yang sudah mulai memudar warnanya, menandakan sering dicuci dan terpapar terik matahari. Hitam legam kulitnya petanda begitu dekatnya ia dengan paparan sang surya. Berjibaku dengan pekerjaan kasar demi kepingan rupiah. Memastikan masih ada nasi yang sudi mengisi perut keluarganya. Mencoba bertahan dalam himpitan keadaan yang tak dapat berkompromi dengan kebutuhan keluarganya. Semua memaksanya untuk memiliki rupiah demi bertahan hidup.

Sorot matanya kosong, jauh memandang lorong panjang rumah sakit. meski sesekali ia memandang wajah dokter yang sedang bicara padanya. Kakinya seperti tak kuasa menopang tubuh kurusnya. Baginya penjelasan sang dokter mengalir bagaikan cairan garam pada luka. Perih, ngilu.. Tak ada yang keliru sedikit pun dari penjelasan sang dokter. Begitu jelas menggambarkan kondisi sang bayi. Ternyata sang bayi lahir dalam keadaan premature dengan sepsis klinis dan myosin aspiratori syndrome. Sehingga memerlukan perawatan intensif dengan waktu yang sangat lama karena semua organnya belum matur dan resiko tinggi infeksi. Sang Ayah tetap memaksakan keinginannya untuk membawa pulang bayinya. Namun sang dokter pun, tetap memegang prinsip patient safety untuk bayinya. Hingga Ayah si Bayi pun terdiam, ku lihat lipatan di keningnya. Matanya semakin sayu, menahan debit mata air yang coba ia tahan. Akhirnya dia pun pergi, meninggalkan ruangan.


Ku tahu, bukan dia tak bahagia atas kelahiran bayinya. Namun, ia berada dalam kesadaran yang nyata akan kondisi ekonomi keluarganya. Ketika keluarga lain disibukkan dengan memberi kebutuhan bayi mulai dari perlengkapan mandi, baju, mainan atau asuransi pendidikan dan kesehatan yang akan dipilihnya. Lain lagi dengan Sang Ayah B, (untuk memudahkan saya memanggilnya). Menjelang kelahiran bayinya, tak henti-hentinya membuat malamnya gelisah memikirkan segala kebutuhan sang bayi. Bagaimana dia akan menghidupi keluarganya dengan penambahan personil baru. Terlebih lagi dengan biaya perawatan dalam jangka waktu yang tak dapat dipastikan untuk kesehatan bayinya. Semakin menyesakkan dadanya.

Ku amati ia dari dalam ruangan. Langkah kakinya berjalan pelan dan lunglai. Hingga dia pun menjatuhkan tubuhnya di kursi tunggu. Kaki kurusnya tak kuasa lagi menopang badan. Ku lihat ada seorang wanita paruh baya menghampirinya. Aku hanya bisa menebak, mungkin itu adalah Ibu dari laki-laki itu. tepatnya nenek bayi. Dalam keraguan aku ingin menghampirinya. Sekedar menyapa atau mungkin ingin bertanya tentang mereka lebih jauh. Ya.. akhirnya aku beranikan diri. Aku tahu, kehadiranku mungkin tak meringankan beban mereka. Ah.. biarlah.. aku hanya ingin berbagi sedikit ilmu dengan mereka. Ilmu yang pernah mengajariku mempertahankan suatu hak atas kewajiban yang ku tunaikan. Begitu pun, aku ingin ia mendapatkan haknya.

Sang Ayah pun gugup dengan kehadiranku. Dia menggunakan bahasa Jawa yang membuatku sulit berkomunikasi. Aku hanya bertanya, apakah dia mempunyai asuransi kesehatan? Seperti jamkesmas? Dia menggeleng. Begitu asing dengan istilah yang aku sebutkan. Aku mencoba menarik nafas. Dan aku uraikan bagaimana mekanisme yang harus dilewati Bapak itu. Meskipun ada informasi yang aku sembunyikan, yang tak ku sampaikan. Apakah masih ada kuota jamkesmas didesanya? Karena jika penuh maka ia pun tak dapat memilikinya. Namun, disamping jamkesmas yang merupakan anggaran APBN jaminan social kesehatan yang bisa diakses si Bapak adalah Jamkesda yang alokasi anggarannya dari daerah. Tapi, aku urung memberitahu informasi ini. Karena akan membuatnya perih dan putus asa. Bahwa kini, terhitung tanggal 1 Januari 2010 APBD tidak menyediakan anggaran untuk jamkesda.

Polemik macam apa lagi ini. Yang kecil semakin terkucilkan. Seperti sel tak berjeruji. Kejahilan yang terpelihara oleh kerakusan. Karena begitu banyak masyarakat yang tidak mengetahui haknya dalam akses jaminan pelayanan kesehatan. Tersimpan rapih dalam laci-laci nepotisme. Ditengah upaya pengadaan mobil mewah para menteri dan anggaran pesawat presiden. Akankah kembali terlupakan…? Memastikan rakyatnya mendapatkan apa yang menjadi hak mereka.

Laki-laki itu, langsung berlari menyusuri lorong. Menyisir keberanian menghadapi para birokrat. Berjuanglah pa.. untuk sesuatu yang menjadi hak mu.. untuk buah hatimu.. dekaplah bahagiamu..

Ku tau..
Ini hanya cerita kecil tentang kondisi negeri kita. Masih banyak Bapak B yang lain, mungkin puluhan atau ratusan. Yang terpenjarakan dalam ketidaktahuan karena kerakusan oknum. Atau apakah.. mereka tak layak hanya untuk sekedar tau?..

0 komentar:

Posting Komentar

kasih komentar anda

jam

Jumlah pengunjung

Laskar X-Pan City

Foto saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Dunia telah memberikan arti bagi hidupku. Saya hanyalah anak kampung yang tidak ingin ketinggalan dengan kemajuan teknologi. Bukan saatny orang kampung termarjinalkan. Sekarang adalah saatnya untuk maju. membuka bakat terpendam yang dimiliki oleh orang kampung seperti saya ini.

translate

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Perjalananku

benerin komputer

tentang skripsi